+62 22 4231280  +62811 2001 005

Super IS

Super IS

DEWANTI WIDYA ASTARI, TETI SUGIARTI, NENI ROSTIENI
Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung, Indonesia
Email korespondensi: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Latar Belakang: Pusat Mata Nasional (PMN) Rumah Sakit Mata Cicendo menyelenggarakan pelayanan rawat jalan dan eksekutif. Berdasarkan studi pendahuluan terjadi peningkatan jumlah kunjungan sehingga terjadi penumpukan pasien, namun belum diketahui faktor penyebab lamanya waktu tunggu pelayanan. Pemenuhan indikator Waktu Tunggu Rawat Jalan (WTRJ) di instalasi rawat jalan yaitu 55 menit dan di instalasi eksekutif 50 menit (standar pelayanan minimal dan IKRS < 60 menit). Waktu tunggu pelayanan pasien merupakan salah satu indikator kepuasan pasien dan mutu pelayanan di rumah sakit. Lamanya waktu tunggu pasien merupakan salah satu hal penting dalam menentukan kualitas pelayanan kesehatan. Sejauh penelusuran literatur yang penulis lakukan, belum menemukan hasil penelitian yang khusus tentang waktu tunggu pelayanan di PMN Rumah Sakit Mata Cicendo.
Tujuan: Mengukur waktu tunggu yang diperlukan pelayanan di PMN Rumah Sakit Mata Cicendo.
Metode: Penelitian deskriptif menggunakan metode observasi time and motion study. Pengambilan data dengan menghitung waktu tunggu pelayanan pasien. Jumlah responden instalasi rawat jalan sebanyak 393 orang dan responden instalasi eksekutif sebanyak 373 orang pada bulan September 2021.
Hasil: Poli Eksekutif, Poli External Eye Disease (EED), Poli Katarak Bedah Refraktif (KBR) dan Poli Glaucoma sudah sesuai dengan standar pelayanan minimal.
Kesimpulan: Hasil penelitian yang diperoleh menyatakan bahwa waktu tunggu pelayanan di Poli Eksekutif, Poli External Eye Disease (EED), Poli Katarak Bedah Refraktif (KBR) dan Poli Glaucoma perlu dioptimalkan sehingga dapat meningkatkan kepuasan pasien dan sesuai dengan standar pelayanan minimal. Harapan terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit untuk menjadi lebih baik dan semakin terarah.
Kata kunci: Rawat Jalan, Time Motion Study, Waktu Tunggu Pelayanan

Klik Artikel Selengkapnya

Raden M Tanri A / Dr dr M Rinaldi Dahlan, SpM(K)

Kanalikuli terletak di bagian terlemah kelopak mata. Kanalikuli seringkali merupakan struktur pertama yang terkena dampak oleh trauma periorbita atau trauma wajah. Frekuensi keterlibatan struktur aparatus drainase lakrimal dari yang paling sering hingga yang paling jarang adalah kanalikuli (bawah, atas, dan bikanalicular), saluran nasolakrimalis, kantung lakrimal, dan terakhir puncta lakrimal. Cedera pada kanalikuli paling sering terjadi pada laki-laki usia muda, namun secara umum juga dapat terjadi pada wanita dan berbagai kalangan usia. Cedera pada kanalikuli dapat disebabkan oleh laserasi langsung atau gerakan tiba-tiba kelopak mata ke arah lateral yang merobek medial canthal tendon dan kanalikulus terkait. Pemeriksaan yang cermat pada area ini sangatlah penting, termasuk pemeriksaan probing dan irigasi untuk diagnostik.1,2,3

Tatalaksana ruptur kanalikulus dapat dilakukan dengan berbagai pilihan metode pembedahan. Pendekatan yang mungkin dilakukan dapat berupa perbaikan laserasi tanpa penggunaan stent atau dengan penggunaan stent monokanalikular maupun bikanalikular. Prinsip-prinsip yang disepakati para ahli di antaranya adalah mengidentifikasi ujung medial kanalikulus yang robek dan menggunakan pembesaran yang tinggi dalam menjahit maupun intubasi kanalikuli untuk mencegah fibrosis yang dapat terjadi. Metode yang paling konvensional adalah melakukan intubasi bikanalikular yang juga melibatkan manipulasi kanalikuli yang tidak terlibat. Konsekuensi dari metode tersebut adalah kebutuhan untuk pengambilan silicone tube pascaoperasi.1,4,5

Anestesi dalam tatalaksana laserasi kanalikuli banyak dilakukan dengan anestesi  umum karena seringkali melibatkan trauma yang memerlukan berbagai tindakan. Pilihan teknik anestesi sedasi dengan Monitored Anesthesia Care (MAC) dapat dilakukan pada kasus yang tidak rumit atau tidak disertai trauma berat pada bagian lain. Teknis anestesi sedasi juga dapat memberikan keuntungan sejak terjadinya pandemi COVID-19 pada awal tahun 2020 untuk menghindari timbulnya aerosol sehingga mencegah penyebaran virus COVID-19.1,3,4

Sistem drainase lakrimal meliputi puncta atas dan bawah, kanalikuli lakrimal, kantung lakrimal, dan duktus nasolakrimalis. Puncta lakrimal adalah lubang kecil (berdiameter sekitar 0,3 mm) di tepi kelopak mata. Punctum inferior berjarak sekitar 6,5 mm dari kantus medial, sedangkan punctum superior berjarak sekitar 6,0 mm dari kantus media. Punctum kelopak mata bawah terletak lebih dekat ke limbus kornea karena pertumbuhan sinus maksilaris yang menarik punctum kelopak mata bawah ke lateral. Puncta mengarah posterior ke tear lake di kantus bagian dalam. Ampula adalah sedikit pelebaran pada sudut kanalikulus di dekat punctum. Bukaan ini mengarah ke kanalikuli lakrimal, kantung lakrimal, dan akhirnya duktus nasolakrimalis, yang selanjutnya mengarah ke hidung. Pada 90% orang, kanalikuli bergabung membentuk kanalikulus komunis sebelum memasuki kantung lakrimal. Serabut otot tarsal orbicularis oculi mengelilingi sistem kanalikuli dan kantung lakrimal. Serabut otot ini mendorong air mata ke dalam sistem dan turun ke saluran dengan berkedip.1,2,3

Kanalikuli terletak di bagian terlemah kelopak mata. Kanalikuli seringkali merupakan struktur pertama yang terdampak oleh trauma kelopak mata karena tidak memiliki tarsal. Cedera pada kanalikuli dapat terjadi baik oleh laserasi langsung atau oleh avulsi ketika perpindahan lateral tiba-tiba kelopak mata merobek medial canthal tendon dan kanalikuli terkait. Berbagai literatur menyebutkan bahwa ruptur lebih banyak terjadi pada kanalikuli inferior daripada superior. Pemeriksaan yang cermat pada area ini sangatlah penting, termasuk pemeriksaan probing dan irigasi untuk diagnostik.1,6,7

Langkah pertama perbaikan kanalikuli adalah dengan menemukan ujung-ujung yang terputus dari sistem kanalikuli. Anestesi umum dan pembesaran dengan pencahayaan optimal memudahkan pencarian. Pemahaman menyeluruh tentang anatomi kantus medial memandu operator ke area yang tepat untuk memulai eksplorasi ujung medial kanalikulus yang terputus. Kanalikulus terletak di dekat tepi kelopak mata, tetapi untuk laserasi yang dekat dengan kantung lakrimal, kanalikulus berada jauh di dalam ekstremitas anterior tendon kantus medial.4,8,9

Irigasi menggunakan udara, fluorescein, atau bahan viskoelastik kuning melalui kanalikuli yang berdekatan dapat membantu. Penggunaan pewarna methylene-blue harus dihindari, karena cenderung menodai seluruh bidang operasi. Dalam kasus yang sulit, penggunaan pigtail probe berujung halus secara hati-hati dapat membantu mengidentifikasi ujung potongan medial. Probe dimasukkan melalui punctum yang berlawanan melewati kanalikuli komunis dan akhirnya melewati ujung medial. Gambaran khas yang dapat ditemukan adalah calamari sign. 5,6,10

Pemasangan stent pada kanalikulus yang cedera dilakukan untuk membantu mencegah striktur kanalikuli pascaoperasi. Dengan memasang stent pada traksi, ahli bedah menyatukan ujung kanalikuli yang terputus dan struktur jaringan lunak lainnya, menempatkannya kembali ke posisi anatomis normal. Anastomosis langsung dari kanalikuli di atas stent lakrimal dapat dicapai dengan penutupan jaringan perikanalicular, dan tendon canthal medial dan margin kelopak mata dapat direkonstruksi seperlunya.5,7,11

Stent bikanalikular telah banyak digunakan, namun stent monokanalikular juga tersedia sebagai pilihan. Salah satu jenis stent monokanalikular dipasang di distal ke probe pemandu logam yang diambil secara intranasal. Jenis lain dimasukkan ke dalam punctum dan disambungkan langsung ke kanalikuli yang terkoyak untuk menjembatani laserasi tetapi tidak meluas ke hidung. Hal ini memungkinkan prosedur dilakukan dengan anestesi lokal di rawat jalan atau unit gawat darurat.10,11,12

Stent atau silicone tube biasanya dibiarkan di tempat selama 3 bulan atau lebih, namun terdapat risiko munculnya cheese-wire, iritasi mata, infeksi, peradangan lokal, atau pembentukan granuloma piogenik mungkin memerlukan pengangkatan dini. Stent bikanalicular biasanya dipotong di canthus medial dan diambil dari hidung. Stent monocanalicular hanya diambil dari punctum. Stent dapat dipertimbangkan untuk dikeluarkan kurang dari 3 bulan, terutama jika diyakini proses penyembuhan luka telah tercapai dan pembentukan kanalikuli telah terjadi.13,14,15

Laserasi kanalikuli tunggal dapat diperbaiki dengan silicone tube pada anestesi sedasi dengan Monitored Anesthesia Care (MAC) secara aman, efektif dan dengan komplikasi minimal. Prinsip yang penting untuk diperhatikan adalah mengidentifikasi luka dengan cermat dan memilih tatalaksana yang efektif dan efisien. Pasien-pasien dengan laserasi kanalikuli yang ditatalaksana dengan tepat dapat mengalami proses pemulihan yang optimal dan menghindari munculnya komplikasi pascaoperasi.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Sundar G. Lacrimal Trauma and Its Management. Dalam: Ali MJ, editor. Principles and Practice of Lacrimal Surgery. Singapore: Springer; 2018. hlm. 379-405.
  2. Korn BS, Burkat CN, Carter KD, Perry JD, Setabutr P, Steele EA, et al., editor. Abnormalities of the Lacrimal Secretory and Drainage Systems. Dalam: American Academy of Opthalmology. Oculofacial Plastic and Orbital Surgery. BCSC 2020-2021. San Fransisco: AAO 2020-2021. hlm. 311-12
  3. Brar VS, Law SK, Lindsey JL, Mackey D, Schultze R, Silverstein E, et al. Orbit and Ocular Adnexa. Dalam: Fundamentals and Principles of Ophthalmology. BCSC 2020-2021. San Fransisco: AAO 2020-2021. hlm. 42-3.
  4. Wen X, Li Y. Anesthesia procedure of emergency operation for patients with suspected or confirmed COVID-19. Surg Infect (Larchmt). 2020;21(3):299.
  5. Gerard A, Gungab NL, Javate RM, Beronilla ACS. Secondary Repair of Upper Lid Laceration with Canalicular Laceration , Right A case report. 2021;1–6.
  6. Wladis EJ, Aakalu VK, Tao JP, Sobel RK, Freitag SK, Foster JA, et al. Monocanalicular Stents in Eyelid Lacerations: A Report by the American Academy of Ophthalmology. Ophthalmology. 2019;126(9):1324–9.
  7. Hawlina G, Vergot K. Management of traumatic lower-eyelid avulsion and complete loss of the lacrimal canaliculus: A case report. Case Rep Ophthalmol. 2019;10(2):172–9.
  8. Alhammad F, Galindo-Ferreiro A, Khandekar R, Al-Sheikh O, Alzaher F, Schellini S. Management outcomes of canalicular laceration in children. Saudi J 2020;34(2):101.
  9. Shah SM, Shah MA, Patel KB, Singh RU. Innovative cost-effective method to repair lacrimal cannaliculi laceration - finding proximal end and stent. GMS Ophthalmol cases. 2019;9:20.
  10. Ali MJ, Paulsen F. Human Lacrimal Drainage System Reconstruction, Recanalization, and Regeneration. Curr Eye Res. 2020;45(3):241–52. Guo T, Qin X, Wang H, Lu Y, Xu L, Ji J, et al. Eiology and prognosis of canalicular laceration repair using canalicular anastomosis combined with bicanalicular stent intubation. BMC Ophthalmol. 2020;20(1):1–8.
  11. Lin CH, Wang CY, Shen YC, Wei LC. Clinical characteristics, intraoperative findings, and surgical outcomes of canalicular laceration repair with monocanalicular stent in Asia. J Ophthalmol. 2019;2019.
  12. Men CJ, Ko AC, Ediriwickrema LS, Liu CY, Kikkawa DO, Korn BS. Canalicular laceration repair using a self-retaining, bicanalicular, hydrophilic nasolacrimal Orbit (London). 2021;40(3):239–42.
  13. Kim T, Yeo CH, Chung KJ, Lee JH, Kim YH. Repair of lower canalicular laceration using the mini-monoka stent: Primary and revisional repairs. J Craniofac Surg. 2018;29(4):949–52.
  14. Karaca U, Genc H, Usta G. Canalicular laceration (cheese wiring) with a silicone tube after endoscopic dacryocystorhinostomy: when to remove the tube? GMSOphthalmol cases. 2019;9:4–7

Anne Susanty1, Susi Susanah2, Ponpon Idjradinata2, Feti Karfiati3

1Pediatric Hematology Oncology, National Eye Centre, Cicendo Eye Hospital, Bandung, Indonesia. 2Department of Child Health, Hematology-Oncology Division, Dr. Hasan Sadikin General Hospital/ Faculty of Medicine, Universitas Padjajaran, Bandung, Indonesia. 3Department of Ophthalmology, Pediatric Ophthalmology and Strabismus Division, National Eye Centre, Cicendo Eye Hospital/ Faculty of Medicine, Universitas Padjajaran, Bandung, Indonesia.

Abstract

Background: We aim to analyze which tumor location gives more favorable chemotherapy response in intraocular retinoblastoma grade B, C, and D as well as to report the first case series in Indonesia. Methods: Six boys with age ranging from 10 weeks to 47 months old were recruited into the study from April 2019 to January 2020 at National Eye Centre, Cicendo Eye Hospital, and Hasan Sadikin General Hospital, Bandung, West Java, Indonesia. Retinoblastoma (RB) patients underwent examination under anesthesia (EUA). Tumor size and location were evaluated by using RetCam pre and post 2 cycles of chemotherapy. The tumors were classified according to the International Intraocular Retinoblastoma Classification. Results: There were two patients with unilateral RB and four patients with bilateral RB. All patients had leukocoria and sought medical advice within 12 months of onset. There were one tumor in the macular zone, six tumors in the equatorial zone, and two tumors in the ora zone. Two cycles of intravenous vincristine, etoposide, and carboplatin (VEC) were administered and the tumor diameter was re-evaluated afterwards. The tumor size was decreased following 2 cycles of chemotherapy. Conclusions: Ora zone showed a more favorable chemotherapy response.

Keywords: Chemotherapy- intraocular- retinoblastoma- tumor location

Introduction

 

 

Retinoblastoma (RB) is a primary intraocular tumor in childhood with incidence of 1:15,000-20,000 live births and 5000-9000 new cases are diagnosed annually [1-2]. More than 90% of patients with RB live in developing countries with advanced clinical findings in the first encounter. Therefore, the mortality is high [3]. The prognosis of survival depends on early diagnosis and prompt treatment [2].

Classification of intraocular retinoblastoma (RB) is based on international retinoblastoma classification (IIRC) grade A to grade E [4]. The size and location of the tumor should be well-documented. The tumor size is based on the biggest base diameter measured with an indirect ophthalmoscope, ultrasound, or retina camera. The tumor location is classified into 3 zones: macula, equator, and ora. The macula is defined as a part of the retina between the superior and inferior temporal arteriole. The equator is located between the macula and equator zones, as estimated by the presence of vortex veins. The ora location includes the remaining anterior extent portion of the retina up to the ora serrata [5].

Chemoreduction is one of the modalities employed for intraocular RB. The goal is for tumor shrinkage before the administration of local therapy. About 10% of chemoreduction alone is effective but 90% of cases need combination with local therapy, both for intraocular and extraocular RB. The effect of chemoreduction will be significantly noted after 2 cycles; as it will reduce the tumor diameter by 35% and reduce the tumor thickness by 50% [6]. Shields et al. reported that from 54 tumors, the average tumor basal dimension was 12 μm and the average tumor thickness was 7 μm. After conducting chemoreduction for 2 months, 48 tumors (89%) showed calcification with the average basal dimension of 8 μm and the average tumor thickness of 4 μm. There was a reduction of basal tumor dimension by 35% and reduction of tumor thickness by 49% at the end of treatment [7]. A study conducted by Gombos et al. in intraocular RB patients who only received chemotherapy reported that systemic chemotherapy showed a better response in tumors located in the macula and tumors more than 2 μm in size. Chemotherapy response based on the tumor location is varied according to tumor grading. Tumor location will give a different prognosis in each patient [5].

Standard chemotherapy includes vincristine, etoposide, and carboplatin (VEC) protocol given at 28 days interval for six cycles [4]. Vincristine dose is 1.5 mg/m2  on day one (0.05 mg/kg for patients aged ≤36 months), etoposide 150 mg/m2 on day one and two (5 mg/kg for patients aged ≤36 months), carboplatin 560 mg/m2 on day one (18.6 mg/ kg for patients aged ≤36 months) [8].

We report the outcomes of six patients with 7 eyes and 10 tumors which underwent 2 cycles of chemotherapy, documented during examination under anaesthesia (EUA) by using RetCam. Five patients showed clinical improvement marked with tumor regression.

Materials and Methods

These case series were conducted from May 2019 to January 2020 in National Eye Centre, Cicendo Eye Hospital Bandung, and Dr. Hasan Sadikin Bandung General Hospital. All patients were male with age ranging from 10 weeks to 47 months old with presenting signs of leukocoria and presented to the hospital within 12 months after first recognition of the finding. No significant past medical history nor cancer history were identified in the family. History taking, physical examination, and ancillary tests were performed. Patients were diagnosed with intraocular RB grade B, C, and D based on the International Intraocular Retinoblastoma Classification. Written informed consent was obtained from the patients for publication of these case series and accompanying images. A copy of the written consent is available for review by the reviewer of this journal.

Results

Two patients had unilateral RB and four patients had bilateral RB. From ultrasound examination, all patients showed solid echogenic lesions suggesting intraocular masses. From EUA prior chemotherapy, 1 tumor in macula zone, 6 tumors in the equator zone, and 2 tumors in ora zone with size 173-823 μm, whereas the size ranged from 147 – 815 μm following chemotherapy. Patients received six cycles of VEC chemotherapy but for this case series we observed up to 2 cycles. Five patients showed good tumor regression while 1 patient passed away due to intracranial metastasis and from post-EUA chemotherapy showed vitreous seeding.

 

Discussion

This case series demonstrated an uncommon clinical finding of intraocular RB patients who showed a more favourable response to chemotherapy in the ora zone. All patients in this case series were boys which might be coincidental because RB has no gender predisposition. Retinoblastoma arises due to RB1 gene mutation through two-hit hypothesis [1,4]. We did not perform any genetic analysis on the patients. Leukocoria is a common clinical finding in retinoblastoma. Unfortunately, in developing countries, most of the patients presented in the hospital at an advanced stage [1, 4]. All patients in this case series presented with leukocoria. Patients underwent ancillary tests i.e., ultrasound examination showing solid echogenic lesions suggesting intraocular masses (Figure 1).

A previous study in the United Kingdom reported that most tumors are located in the macula zone compared to the equator or ora zone [5]. In this case series, we observed 1 tumor in the macula zone, 6 tumors in the equator zone, and 2 tumors in the ora zone. This is due to the previous epidemiology data obtained from developed countries; yet, we have not found epidemiology data from developing countries. The demographic differences could cause this finding. In developing countries, most of the patients presented at an advanced stage which is grade E. In this case series, 3 tumors were identified in one eye (equator zone). Another eye had two tumors in the ora zone but one of the tumor’s diameters could not be identified because the tumor size was beyond the visual field of EUA.

Based on the previous report, the greatest reduction of tumor diameter was reported in the macula zone. This is related to the fact that macula is well-vascularized so chemotherapy could reach the tumor optimally [5]. In this case series, reduction of tumor size ranging from 7 μm (tumor 8, equator zone) to 397 μm (tumor 6, ora zone). Due to the limited number of tumors being examined, the size reduction of tumors in macula could not be further analysed, unlike the previous study which showed a significant reduction of tumor size in the macula zone. The greatest reduction of tumor diameter was located in ora zone (tumor 6). From EUA performed after 2 cycles of chemotherapy, vitreous seeding is noted. The patient passed away on 27 December 2019 due to intracranial metastasis. The other five patients showed clinical improvement and tumor regression (Table 1).

A previous study suggested that tumors located in macula showed the best response to chemotherapy and after administration of 2 cycles chemotherapy tumor size will reduce by 35% [9]. However, in this case series, tumors located in ora showed a more favorable response to chemotherapy, and the percentage of reduction after 2 cycles chemotherapy ranging from 0.9% to 62% with an average of 18.54%. This finding could be affected by several factors, such as variation of response among Indonesian children, change of basal dimension, and the immeasurable tumor thickness.

In conclusion, the determination of tumor location and measurement of tumor size in patients with intraocular RB grade B, C, and D could help predicting the response to chemotherapy. Chemotherapy response is documented during evaluation. Ora zone has a more favorable response to chemotherapy.

List of abbreviations

Declarations

Availability of data and materials: All data are available without restriction. Researchers can obtain data by contacting the corresponding author.

Consent for publication

All patients were asked for the informed consent

Ethical approval and consent to participate

The study was conducted according to the guidelines of the Declaration of Helsinki, and approved by the Ethics Committee of Dr. Hasan Sadikin General Hospital (protocol code LB.02.01/X.6.5/174/2019 on 29 May

2019).

Authors’ contributions

Conceptualization, A.S.; methodology, A.S., S.S., P.I., and F.K.; formal analysis, A.S.; investigation, A.S.; resources, A.S.; data curation, S.S., P.I., and F.K.; writing—original draft preparation, A.S.; writing—review and editing, S.S., P.I., and F.K.; supervision, S.S., P.I., and F.K. All authors have read and agreed to the published version of the manuscript.

Competing interests

The authors declare no competing interest in relation to this study.

References

  1. H Dimaras, K Kimani, Ea Dimba, P Gronsdahl, A White, Hs Chan, Bl Gallie. Retinoblastoma. Lancet (London, England). 2012 04 14;379(9824). https://doi.org/10.1016/ S0140-6736(11)61137-9
  2. M Jain, D Rojanaporn, B Chawla, G Sundar, L Gopal, V Khetan. Retinoblastoma in Eye (London, England). 2019 01;33(1). https://doi.org/10.1038/s41433-018-0244-7
  1. Dimaras H, Corson TW, Cobrinik D, White A, Zhao J, Munier FL, Abramson DH, Shields CL, Chantada GL, Njuguna F, Gallie BL. Retinoblastoma. Nature Reviews. Disease Primers. 2015 08 27;1:15021. https://doi.org/10.1038/ 2015.21
  2. Rao R, Honavar SG. Recent Developments in The Official Scientific Journal of Delhi Ophthalmological Society. 2016 06 10;27(1):50-61. https://doi.org/10.7869/ djo.206
  3. Ds Gombos, A Kelly, Pg Coen, Je Kingston, Jl Retinoblastoma treated with primary chemotherapy alone: the significance of tumour size, location, and age. The

 

 

Penyembuhan Luka Kornea

Oleh : dr. Atika Andianti / dr. Angga Fajriansyah, SpM(K)

Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK Unpad / PMN RS Mata Cicendo Bandung

 

I.    Pendahuluan

Kornea merupakan struktur okular yang terpapar langsung dengan lingkungan luar sehingga berisiko lebih tinggi untuk terjadi luka. Luka kornea yang paling sering dijumpai berupa abrasi kornea akibat trauma mekanik. Menurut penelitian Premchander dkk pada populasi usia 21-65 tahun, tiga penyebab luka kornea terbanyak antara lain abrasi kornea sebesar 30%, benda asing kornea sebesar 27%, dan trauma kimia sebesar 21%.1–3

Peningkatan peredaran darah mempercepat respon jaringan dan mendukung proliferasi seluler sehingga proses penyembuhan jaringan menjadi lebih cepat. Proses penyembuhan luka kornea memiliki tantangan tersendiri karena kondisi avaskular kornea. Kondisi avaskular kornea disebut sebagai angiogenic-privileged. Karakteristik tersebut penting bagi kornea untuk dapat mempertahankan fungsinya.4–6

Proses penyembuhan luka yang berlangsung dengan baik dapat mengembalikan struktur dan fungsi kornea. Setiap lapisan kornea memiliki jenis sel berbeda dengan karakternya masing-masing, sehingga terdapat mekanisme penyembuhan yang berbeda sesuai dengan lapisan yang cedera.6–8 Sari kepustakaan ini bertujuan untuk membahas anatomi dan fisiologi kornea, proses peradangan akut pasca trauma, serta proses penyembuhan luka kornea.

 

II.   Anatomi, Fisiologi, dan Penyembuhan Luka Kornea

Kornea merupakan jaringan transparan yang memiliki indeks refraksi 1,376 dan rata-rata radius kelengkungan 7,8 mm. Kornea memproduksi kekuatan refraksi paling besar, yaitu 43,25 Dioptri (D) dari keseluruhan kekuatan refraksi mata. Ketebalan kornea sekitar 500-600 mikrometer di sentral dan secara berangsur semakin menebal pada area perifer.9–11

Kornea merupakan jaringan yang tidak memiliki pembuluh darah dan limfe. Kondisi avaskular tersebut menyebabkan kornea menerima oksigen dan nutrisi melalui lapisan air mata, humor akuos bilik mata depan, dan vaskular di limbus. Kondisi avaskular atau angiogenic-privileged kornea penting dalam mempertahankan transparansi kornea yang dapat terganggu akibat proses peradangan pasca trauma.1,5,12

Peradangan akut merupakan fase pertama proses penyembuhan luka. Penyembuhan luka kornea memiliki mekanisme yang bervariasi sesuai dengan kedalaman cedera kornea. Variasi mekanisme tersebut disebabkan oleh struktur kornea terdiri dari beberapa lapisan yang memiliki jenis sel berbeda. Kornea terdiri atas lima lapisan, yaitu epitel, lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan endotel.6,12,13

 

2.1    Anatomi dan Fisiologi Lapisan Kornea

Lapisan epitel terdiri dari 4-6 lapisan dengan ketebalan 40-50 mikrometer, yang tersusun atas satu lapisan sel basal kolumnar, dua sampai tiga lapisan sel wing, dan satu sampai dua lapisan sel epitel pipih superfisial. Sel basal epitel melekat pada lamina basalis di bawahnya dengan hemidesmosom dan melekat satu sama lain secara kuat dengan desmosom, namun akan terus-menerus bermigrasi ke lapisan air mata dan mengalami deskuamasi. Sel epitel bermigrasi secara sentripetal dari sumber sel punca di limbus. Epitel kornea akan beregenerasi dengan mekanisme proliferasi dan diferensiasi sel punca untuk menggantikan sel yang hilang dari proses deskuamasi sebelumnya.9,10,14

 

 

Proyeksi mikrovili dan mikroplika berada di permukaan lapisan sel epitel yang paling superfisial. Glikokaliks merupakan material filamen yang melapisi proyeksi tersebut. Glikokaliks memiliki konstituen mayor yang disebut musin glikoprotein yang berfungsi untuk menjaga stabilitas lapisan air mata. Glikosilasi protein dan lipid plasma membran sel epitel kornea memiliki peran penting dalam adhesi antar sel dan adhesi sel basal epitel kornea dengan membran Descemet. Residu gula glikoprotein dan glikolipid epitel kornea berperan dalam mekanisme penyembuhan luka kornea sebagai mediator migrasi sel epitel ke lokasi luka epitel kornea.9,10,15

Lapisan Bowman atau membran Bowman terletak di bawah lamina basalis epitel dan merupakan modifikasi dari stroma anterior dengan ketebalan 8-15 mikrometer. Lapisan Bowman terdiri dari fibril kolagen yang tersusun dari serat kolagen tipe I dan V. Serat-serat kolagen terjerat dalam matriks yang terdiri dari proteoglikan dan glikoprotein. Lapisan ini bersifat aseluler yang tidak dapat beregenerasi saat terjadi kerusakan, namun digantikan oleh jaringan sikatrik. Struktur aseluler dan distribusi yang padat menjadikan lapisan Bowman sebagai struktur yang mencegah paparan faktor pertumbuhan sel epitel seperti transforming growth factor-β (TGF-β) terhadap keratosit yang dapat menyebabkan kekeruhan kornea.9,14,15

Stroma menyusun sekitar 90% dari total ketebalan kornea manusia. Lapisan ini terdiri dari keratosit, proteoglikan, dan lamela kolagen. Keratosit berada di antara lamela kornea, mengisi sekitar 5% dari total volume stroma, dan tersusun lebih padat pada bagian anterior dibandingkan posterior stroma. Keratosit berfungsi untuk memproduksi kolagen dan merupakan sel yang sangat aktif, serta kaya akan mitokondria, retikulum endoplasma, dan badan Golgi.9,10,14

Stroma tersusun dari 200 lamela dengan ketebalan 1,5-2,5 mikrometer yang terdiri atas fibril kolagen yang terjerat dalam matriks berisi proteoglikan dan glikoprotein. Fibril kolagen tersusun memanjang pada seluruh diameter kornea dan melingkar secara sirkumferensial di sekitar limbus. Tipe kolagen stroma terdiri dari kolagen tipe I, III, IV, V, VI, XII, dan XIV. Kolagen tipe I merupakan tipe kolagen yang paling dominan dan menyusun sekitar 70% dari total kolagen stroma. Proteoglikan merupakan konstituen paling banyak kedua di kornea dengan mengisi sekitar 10% dari total berat kering kornea yang memberi sifat hidrofilik pada stroma. Matriks metaloproteinase (MMPs) merupakan enzim yang berperan dalam degradasi komponen matriks ekstrasel, termasuk proteoglikan dan kolagen.9,14,15

Membran Descemet merupakan lamina basalis endotel kornea. Membran ini berada di antara endotel kornea dan stroma. Endotel membentuk membran Descemet dalam proses regenerasi. Hasil regenerasi akan terletak di bagian posterior membran Descemet lama. Membran Descemet lebih tebal 3-4 kali pada masa dewasa dibandingkan saat lahir. Kolagen tipe IV merupakan jenis kolagen yang paling banyak pada membran Descemet. Penelitian oleh Harminder dkk pada tahun 2013 menunjukkan terdapat lapisan lain antara stroma dan anterior membran Descemet yaitu lapisan Dua.9,10,15

Endotel kornea terdiri dari selapis sel heksagonal. Permukaan apikal sel tersebut menghadap ke bilik mata depan dan permukaan basalnya membentuk membran Descemet. Jumlah sel endotel lebih banyak di area perifer dan menurun dengan pertambahan usia. Sel endotel yang tersisa akan bergerak dan berubah bentuk untuk mempertahankan fungsi endotel. Endotel berfungsi sebagai pompa yang menghasilkan tekanan hidrostatik negatif untuk mempertahankan kondisi hidrasi kornea sehingga kerusakan sel endotel akan menyebabkan edema kornea.9–11

 

2.2    Proses Peradangan Pasca Trauma

Kornea sebagai struktur avaskular mengekspresikan reseptor vascular endothelial growth factor-A (VEGF-A) untuk inhibisi aktivitas faktor pertumbuhan angiogenik yang berada di kornea, yaitu vascular endothelial growth factor (VEGF). Kornea juga mengekspresikan faktor antiangiogenik seperti angiostatin, endostatin, trombospondin-1 (TSP-1), trombospondin-2 (TSP-2), dan pigment epithelium-derived factor. Peradangan berat dapat menyebabkan peningkatan regulasi faktor pertumbuhan proangiogenik yang melebihi mekanisme antiangiogenik sehingga menyebabkan pertumbuhan sekunder vaskular dan limfe dari area limbus ke sentral kornea.5,8,13

Peradangan akut melibatkan dua komponen utama, yaitu respon vaskular dan keterlibatan leukosit. Respon vaskular menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas endotel vaskular. Proses tersebut membuat celah antara sel endotel vaskular dan memfasilitasi perpindahan protein plasma dan sel darah ke ekstravaskular seperti pada gambar 2. Leukosit mengalami marginasi dan rolling pada dinding vaksular, beradhesi dengan dinding vaskular, kemudian bermigrasi melalui celah endotel vaskular.13,16,17

Marginasi adalah proses akumulasi leukosit di dinding vaskular sehingga leukosit berinteraksi dengan sel endotel vaskular. Interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF) akan menginduksi endotel vaskular untuk mengekspresikan E-selektin dan P-selektin pada permukaan endotel vaskular. P-selektin, E-selektin, dan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) berperan dalam mediasi aktivasi neutrofil. Rolling leukosit menyebabkan adhesi selektin di permukaan endotel vaskular dengan reseptor selektin di leukosit. Adhesi kemudian memicu leukosit untuk mengekspresikan integrin yang akan berikatan dengan ICAM-1 yang merupakan hasil dari perangsangan TNF dan IL-1 terhadap sel endotel vaskular. Platelet endothelial cell adhesion molecule-1 (PECAM-1) akan memfasilitasi migrasi leukosit melalui celah sel endotel vaskular.5,13,16 

Respon peradangan akut pada vaskular di limbus melibatkan akumulasi neutrofil dan makrofag. Neutrofil berperan dalam proses peradangan akut yang terdeteksi dua jam pasca trauma dan memasuki kornea pada 18 dan 30 jam pasca trauma. Ekstravasasi makrofag akan menginfiltrasi kornea dari perifer ke sentral kornea. Makrofag memiliki fungsi untuk membersihkan sel normal yang mengalami apoptosis dan debris seluler.5,16,17Beberapa proses yang mengikuti peradangan akut antara lain penyembuhan, peradangan kronik, dan pembentukan jaringan parut. Penyembuhan terjadi jika sel dapat beregenerasi sehingga struktur maupun fungsi dapat kembali normal. Peradangan kronik terjadi apabila proses peradangan akut terus berlanjut sampai beberapa minggu atau bulan. Pembentukan jaringan parut merupakan pergantian jaringan yang mengalami kerusakan dengan jaringan ikat.5,13,16

 

2.3    Proses Penyembuhan Luka Kornea

Penyembuhan luka kornea bertujuan untuk mengembalikan integritas struktur dan fungsi kornea melalui proses penutupan luka. Penyembuhan luka kornea berbeda berdasarkan kedalaman cedera pada lapisan kornea. Sel-sel yang berperan aktif dalam proses penyembuhan luka kornea berada di lapisan epitel, stroma, dan endotel. Proses penyembuhan luka pada cedera seluruh lapisan kornea tercantum pada gambar 3.1,6,13

Lapisan air mata membawa neutrofil dengan perantara lisozim dalam waktu satu jam. Degradasi glikosaminoglikan pada tepi luka dan aktivasi fibroblas terjadi dalam 24 jam. Migrasi epitel dan endotel menutup luka secara parsial dan fibroblas mulai memproduksi kolagen setelah satu minggu. Kemudian endotel menutup luka bagian dalam, membentuk membran Descemet baru dalam dua minggu. Fibrosit mengisi luka dengan kolagen tipe I setelah migrasi epitel lengkap dan proses penyembuhan menjadi lambat setelah enam minggu. Luka akan berkontraksi, kemudian jumlah fibrosit akan berkurang sampai bulan keenam.4,6,12

Aktivitas fibrosit pada lapisan kornea menghasilkan jaringan sikatrik pada penyembuhan luka. Luka kornea yang lebih dalam dari lapisan epitel akan menyebabkan pembentukan sikatrik. Sikatrik menyebabkan berkurangnya transparansi kornea, perubahan bentuk kornea, dan permukaan kornea yang tidak rata.1,8,12

 

2.3.1  Penyembuhan Luka Epitel Kornea

Penyembuhan defek epitel kornea ketebalan penuh memakan waktu 4-6 minggu. Faktor pertumbuhan dan sitokin memiliki peran penting sebagai regulator proses penyembuhan luka kornea. Faktor pertumbuhan dan sitokin yang terlibat antara lain epidermal growth factor (EGF), platelet-derived growth factor (PDGF), transforming growth factors-b (TGF-b), insulin-like growth factor (IGF), keratinocyte growth factor (KGF), hepatocyte growth factor (HGF), IL-1, dan tumor necrosis factor-a (TNF-a).1,4,12

Penyembuhan luka epitel kornea melibatkan dua fase utama, yaitu fase laten dan fase penutup. Fase laten merupakan tahap pertama penyembuhan luka epitel kornea. Fase ini melibatkan reorganisasi seluler dan subseluler serta sintesis protein sebagai persiapan proses migrasi sel epitel. Pergerakan dan pertambahan jumlah sel tidak terjadi pada tahap ini. Fase ini melibatkan sintesis protein sitoskeleton, integrin, serta glikoprotein dan glikolipid. Integrin berada di dasar sel basal epitel dan berfungsi untuk mempertahankan adhesi sel basal ke lamina basalis, namun akan terdisosiasi dari desmosom dan hemidesmosom pada penyembuhan luka fase laten, kemudian menjadi membran integral glikoprotein yang mengikat protein ekstraseluler dengan komponen protein sitoskeleton.5,18,19

Fase penutup terdiri dari migrasi, proliferasi dan diferensiasi, serta perlekatan atau stratifikasi lapisan sel. Fase migrasi dan proliferasi melibatkan beberapa faktor pertumbuhan dan sitokin. Interleukin-1, TNF-a, EGF, dan PDGF memicu awal migrasi sel. Interleukin-1 menstimulasi respon keratosit untuk menghasilkan faktor pertumbuhan seperti KGF dan HGF yang berperan dalam migrasi dan proliferasi sel epitel. Aktivasi EGF menstimulasi migrasi, proliferasi sel, serta produksi protein matriks ekstrasel dan fibronektin.1,5,18

Fase migrasi merupakan tahap kedua yang melibatkan pergerakan sel epitel parabasilar ke area luka sampai bertemu dengan sel epitel parabasilar lainnya. Sel epitel pada area batas luka akan memipih dan bermigrasi ke area luka. Pergerakan sel terjadi akibat aktivitas protein kontraksi aktin pada sitoplasma sel. Protein matriks ekstrasel seperti fibronektin, fibrin, dan asam hialuronat berperan sebagai rangka sel yang bermigrasi. Matriks ekstrasel ini bersifat sementara dan akan mengalami degradasi.5,6,19

Tahap ketiga meliputi fase proliferasi dan diferensiasi dengan tujuan mengembalikan struktur epitel berlapis kornea. Proliferasi sel basal epitel diikuti dengan diferensiasi ke arah superfisial menjadi sel epitel pipih. Regenerasi sel epitel melibatkan proliferasi dan diferensiasi sel punca di palisade Vogt limbus. Palisade Vogt berfungsi untuk melindungi sel punca dari paparan trauma, berperan dalam interaksi antara epitel dan mesenkim, serta sebagai perantara sinyal kimiawi dari struktur vaskular di bawah palisade Vogt menuju sel punca. Sel punca epitel limbus memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi sel basal dan transient amplifying cells (TACs). Migrasi sentripetal dari limbus ke sentral kornea mengiringi proses diferensiasi sel punca limbus seperti pada gambar 5. Luka kornea memicu aktivitas sel punca untuk memproduksi TACs lebih banyak dengan siklus sel yang lebih cepat. Faktor pertumbuhan yang berperan dalam aktivitas sel punca limbus antara lain IGF dan KGF. Ekspresi KGF memicu proliferasi sel punca, sedangkan IGF memicu diferensiasi sel punca limbus.1,4,9

 

Fase perlekatan merupakan tahap keempat dari proses penyembuhan luka kornea dengan melibatkan pembentukan kembali hemidesmosom. Trauma epitel yang melibatkan lamina basalis dapat menyebabkan erosi kornea berulang karena terganggunya pembentukan hemidesmosom. Penyembuhan luka epitel kornea dengan lamina basalis yang intak memerlukan waktu sekitar tujuh hari.4,9,12

 

2.3.2  Penyembuhan Luka Stroma Kornea

Penyembuhan luka lapisan stroma kornea melibatkan transformasi sel dari keratosit menjadi fibroblas dan miofibroblas. Respon pertama berupa apoptosis keratosit dengan mediasi IL-1 dan TNF-a. Respon tersebut memicu aktivasi dan diferensiasi keratosit lainnya. Interleukin-1 dan insulin-like growth factor-I (IGF-I) memicu aktivitas mitogenik keratosit. Insulin-like growth factor meregulasi metabolisme energi, migrasi, diferensiasi, proliferasi, dan kelangsungan hidup keratosit.1,4,7 

Transformasi keratosit menjadi fibroblas melibatkan mediasi fibroblast growth factor-2 (FGF-2), PDGF, dan transforming growth factor-b2 (TGF-b2). Fibroblas menurunkan ekspresi protein keratosit dan memproduksi proteinase MMPs untuk pembentukan kembali matriks ekstrasel. Fibroblas mengalami peningkatan motilitas dan berubah menjadi miofibroblas kontraktil dengan stimulasi TGF-b2 setelah mencapai area luka.5,12,18

Jarak antar luka akan menjadi lebih pendek dengan perubahan matriks ekstrasel dan kontraksi luka yang disebabkan oleh miofibroblas. Miofibroblas akan mengubah matriks ekstrasel dan menghasilkan kontraksi luka yang bertujuan untuk menutup jarak antar luka. Fibroblas dan miofibroblas memberikan deposit matriks ekstrasel yang kaya akan fibronektin, protein, dan kolagen tipe III. Transforming growth factor-b2 akan memicu penumpukan matriks ekstrasel yang berlebihan pada luka sehingga terbentuk bekas luka.1,4,5

 

2.3.3  Penyembuhan Luka Endotel Kornea dan Membran Descemet

Sel endotel kornea tidak memiliki kemampuan untuk berproliferasi. Penyembuhan luka endotel kornea melibatkan proses migrasi untuk penyebaran sel disertai pembesaran ukuran sel endotel. TSP-1, interleukin-1b (IL-1b), EGF, PDGF, dan TGF-b merupakan faktor pertumbuhan dan sitokin yang menstimulasi migrasi sel endotel.1,4,5,18

Lapisan endotel kornea mengalami transformasi endotelial-mesenkimal, yaitu akuisisi sementara morfologi fibroblastik oleh sel yang bermigrasi. Transformasi ini memicu perubahan fibrotik dari sel endotel. Faktor pertumbuhan dan sitokin yang berperan dalam proses ini antara lain FGF-2, IL-1b, dan TGF-b.1,6,7 

Infiltrasi leukosit polimononuklear sebagai respon terhadap luka kornea juga dapat memicu transformasi fibroblastik. Infiltrasi tersebut mensintesis retrocorneal fibrous membran (RCFM) di antara membran Descemet dan endotel kornea yang dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan. Endotel kornea normal memiliki akumulasi protein kolagen tipe I yang terbatas, sedangkan sel fibroblastik yang terisolasi dari RCFM akan secara dominan mengekspresikan kolagen tipe I pada lapisan ini.1,6,18

Lapisan endotel akan membentuk membran Descemet baru. Membran Descemet berperan sebagai pembatas agar pertumbuhan jaringan fibrosis terlokalisasi pada area lapisan endotel. Paparan faktor pertumbuhan TGF-b dari endotel terhadap keratosit dapat menstimulasi aktivitas fibrosit dan miofibroblas apabila luka tidak tertutup oleh membran Descemet.1,4,6

 

III.   Simpulan

Kornea merupakan struktur avaskular yang memiliki mekanisme khusus untuk penyembuhan luka. Lima lapisan kornea memiliki karakteristik penyembuhan luka yang berbeda sehingga memberikan respon dan hasil yang berbeda terhadap suatu luka kornea. Sel epitel memiliki sifat regenerasi dengan bantuan sel punca di limbus. Luka kornea yang lebih dalam dari lapisan epitel menyebabkan pembentukan sikatrik akibat proses fibroblastik. Proses penyembuhan luka penting untuk mengembalikan struktur dan fungsi kornea.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA  

  1. Saghizadeh M, Kramerov AA, Svendsen CN, Ljubimov AV. Concise review: stem cells for corneal wound Stem Cells. 2017;35:2105–14.
  2. AlMahmoud T, Al Hadhrami SM, Elhanan M, Alshamsi HN, Abu-Zidan FM. Epidemiology of eye injuries in a high-income developing country: an observational Medicine. 2019;98(26):1-5.
  3. Premchander A, Channabasappa S, Balakrishna N, Nargis An evaluation of visual outcome of corneal injuries in a tertiary care hospital. Int J Clin Exp Ophthalmol. 2019;3(2):20–9.
  4. Ljubimov AV, Saghizadeh M. Progress in corneal wound healing. Prog Retin Eye 2015;49:17–45.
  5. Bukowiecki A, Hos D, Cursiefen C, Eming SA. Wound-healing studies in cornea and skin: parallels, differences and Int J Mol Sci. 2017;18(6):1-24.
  6. Rosa RH, Bloomer MM, Gombos DS, Kivela TT, Milman T, Potter HA, et Ophthalmic pathology and intraocular tumors. Dalam: Cantor LB, Rapuano C, Cioffi G, editor. Basic and clinical science course. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2019. hlm. 13-23.
  7. Mobaraki M, Abbasi R, Omidian Vandchali S, Ghaffari M, Moztarzadeh F, Mozafari M. Corneal repair and regeneration: current concepts and future Front Bioeng Biotechnol. 2019;7:1-20.
  8. Mickler C, Moya F, Quiros PA. The healing process. Dalam: Naseri A, editor. Basic principles of ophthalmic surgery. Edisi ke-4. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology; hlm. 229-46.
  9. Brar VS, Law SK, Lindsey JL, Mackey DA, Schultze RL, Singh RS, et al. Fundamentals and principles of ophthalmology. Dalam: Cantor LB, Rapuano C, Cioffi G, Basic and clinical science course. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2019. hlm. 50-6, 259-67.
  10. Nishida T, Saika S, Morishige Cornea and sclera: anatomy and physiology. Dalam: Mannis MJ, Holland EJ, editor. Cornea. Edisi ke-4. Philadelphia: Elsevier; 2017. hlm. 1-22.
  11. Hancox Z, Keshel SH, Yousaf S, Saeinasab M, Shahbazi MA, Sefat F. The progress in corneal translational medicine. Biomater Sci. 2020;8(23):6469–
  12. Vaidyanathan U, Hopping GC, Liu HY, Somani Persistent corneal epithelial defects: a review article. Med Hypothesis Discov Innov Ophthalmol. 2019;8(3):163–76.
  13. Yanoff M, Sassani Basic principles of pathology. Dalam: Ocular pathology. Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier; 2015. hlm. 1-15.
  14. Sridhar MS. Anatomy of cornea and ocular surface. Indian J Ophthalmol. 2018;66(2):190–4.
  15. Weisenthal RW, Daly MK, Freitas D, Feder RS, Orlin SE, Tu EY, et External disease and cornea. Dalam: Cantor LB, Rapuano C, Cioffi G, editor. Basic and clinical science course. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2019.
  16. Kumar V, Abbas AK, Aster Inflammation and repair. Dalam: Robbins basic pathology. Edisi ke-10. Philadelphia: Elsevier; 2017. hlm. 57-96
  17. Varela ML, Mogildea M, Moreno I, Lopes Acute inflammation and metabolism. Inflammation. 2018;41(4):1115–27
  18. Miyagi H, Thomasy SM, Russell P, Murphy The role of hepatocyte growth factor in corneal wound healing. Exp Eye Res. 2018;166:49–55
  19. Loureiro RR, Gomes JÁP. Biological modulation of corneal epithelial wound Arq Bras Oftalmol. 2019;82(1):78-84

Pengumuman Lelang Nomor : KN.02.07/3.2/9408/2022
Pusat Mata Nasional Rumah SAkit Mata Cicendo Bandung akan melaksanakan lelang onlie melalui kantor pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Bandung berdasarkan surat persetujuan penjualan barang Bongkaran pada PMN RS Mata Cicendo Bandung
Nilai Limit Rp. 10.800.000,- (Sepeuluh Juta Delapan Ratus Ribu rupiah) dengan uang jaminan Rp. 5.400.000,- (lima Juta Empat Ratus Ribu Rupiah)

Informasi Lengkap : Pengumuman Lelang Online

Pengumuman Lelang Nomor : KN.02.07/3.2/9407/2022

Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung akan melaksankan lelang online melalui kantor pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Bandung berdasarkan surat persetujuan penjualan Barang Milik Negara selain tanah dan / atau bangunan nilai perolehan dibawah Seratus Juta Rupiah berupa Scrapt Ex Pelaratan Mesin pada PMN RS Mata Cicendo Bandung

Nilai Limit Rp 10.237.640,- (Sepuluh Juta Dua Ratus Tiga Puluh Tujuh Ribu Enam Ratus Empat Puluh Rupiah), dengan uang jaminan Rp. 5.118.820,- (Lima Juta Seratus Delapan Belas Ribu Delapan Ratus Dua Puluh Rupiah)

Informasi Lengkap : Pengumuman Lelang Online

Pengumuman Lelang Nomor : KN.02.07/3.2/7091/2022

Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung akan melaksankan lelang online melalui kantor pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Bandung berdasarkan surat persetujuan penjualan Barang Milik Negara selain tanah dan / atau bangunan nilai perolehan dibawah Seratus Juta Rupiah berupa Scrapt Ex Pelaratan Mesin pada PMN RS Mata Cicendo Bandung

Nilai Limit Rp 10.237.640,- (Sepuluh Juta Dua Ratus Tiga Puluh Tujuh Ribu Enam Ratus Empat Puluh Rupiah), dengan uang jaminan Rp. 5.118.820,- (Lima Juta Seratus Delapan Belas Ribu Delapan Ratus Dua Puluh Rupiah)

Informasi Lengkap : Pengumuman Lelang Online

Pengumuman Lelang Nomor : KN.02.07/3.2/7092/2022
Pusat Mata Nasional Rumah SAkit Mata Cicendo Bandung akan melaksanakan lelang onlie melalui kantor pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Bandung berdasarkan surat persetujuan penjualan barang Bongkaran pada PMN RS Mata Cicendo Bandung
Nilai Limit Rp. 10.800.000,- (Sepeuluh Juta Delapan Ratus Ribu rupiah) dengan uang jaminan Rp. 5.400.000,- (lima Juta Empat Ratus Ribu Rupiah)

Informasi Lengkap : Pengumuman Lelang Online

Retinoblastoma is the most common primary intraocular malignancy of childhood. Incidence for retinoblastoma approximately 1 in 18.000 live birth worldwide, with mortality 3000 children every year. Mutation in one RB1 allele is constitutional in hereditary bilateral retinoblastoma, whereas somatic mutation in the both allele will rise to the non hereditary unilateral retinoblastoma. The primary goal of treating retinoblastoma is to save the life, followed by preservation of the globe and save the vision. Treatment options consist of chemotherapy, enucleation of the globe, focal treatment with transpupillary thermotherapy, laser photocoagulation, cryotherapy, plaque brachyterapy, external beam radiotherapy,and local chemotherapy

 

KLIK ARTIKEL  LENGKAP

Kasus glaukoma pada anak jarang terjadi dan dapat menyebabkan kondisi kebutaan yang ditandai oleh peningkatan tekanan intraokular (TIO) dan berhubungan dengan kerusakan pada anatomis mata akibat berbagai kondisi. Glaukoma anak memiliki kondisi klinis bervariasi berdasarkan onset usia saat terjadi. Peningkatan TIO dapat menyebabkan kelainan mata lainnya, bukan hanya mengakibatkan kerusakan pada saraf optik. Glaukoma pada pasien anak adalah kelompok penyakit yang disebabkan faktor primer yaitu kelainan kongenital dari faktor anatomis aliran akuos humor atau faktor sekunder yaitu kelainan struktur lain pada mata yang meningkatkan tekanan intra okular dan kerusakan saraf optik. Glaukoma yang terjadi dapat berupa sudut terbuka maupun sudut tertutup. Glaukoma sudut tertutup terjadi karena sinekia posterior yang membentuk blok pupil. Glaukoma sudut terbuka dapat terjadi dikarenakan obstruksi aliran humor akuous pada trabekula. Tujuan terapi baik itu medikamentosa dan tindakan pembedahan adalah untuk memberikan kualitas hidup yang baik pada pasien glaukoma anak dengan mempertahankan tajam penglihatan yang baik jika memungkinkan. Tindakan pembedahan dapat berupa goniotomi, trabekulotomi, trabekulotomi-trabekulektomi, trabekulektomi, implantasi glaucoma drainage devices (GDD) dan transscleral cyclo photocoagulation (TSCPC). Koreksi terhadap keadaan ametropia dan terapi ambliopia juga diperlukan untuk memaksimalkan fungsi penglihatan. Pemantauan jangka panjang setelah tindakan pembedahan pada anak dengan glaukoma sangat penting. Rekurensi dapat terjadi beberapa tahun setelah tindakan dengan peningkatan TIO dan penurunan visus. Laporan kasus ini membahas tentang tatalaksana pada pasien dengan glaukoma anak.

KLIK Informasi Lengkap 

Visi dan Misi

Visi dan Misi Tahun 2025 - Tahun 2029

Visi

Rumah Sakit Bertaraf Level Asia yang Memiliki Pelayanan Mata Unggulan dengan Pertumbuhan Berkelanjutan

Misi

  1. Memperbaiki fasilitas pendukung dan waktu tunggu pelayanan untuk meningkatkan kepuasan pasien
  2. Meningkatkan produktivitas kerja dengan melakukan perbaikan sistem remunerasi, pelatihan dan pengembangan karir yang berkeadilan
  3. Standarisasi pelayanan dengan Panduan Praktek Klinis (PPK) dan clinical pathway
  4. Memperbaiki sistem, proses dan manajemen operasional rumah sakit secara efektif dan efisien melalui digitalisasi pelayanan
  5. Mengampu rumah sakit daerah untuk turut serta dalam peningkatan kapabilitas jaringan rumah sakit dalam skala nasional secara merata
  6. Meningkatkan kemampuan penyelenggaraan pendidikan dan penelitian untuk mendukung pengembangan layanan berbasis riset

 

Visitor

Today147
Yesterday2063
This week6674
This month49122
Total2172065

Who Is Online

2
Online

 

Jl. Cicendo No. 4, Kelurahan Babakan Ciamis, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat - 40117

Instalasi SIMRS 2022 © Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo. All Rights Reserved.